Senin, 05 Maret 2012

Membudayakan Kepemimpinan yang Holistik untuk Mencapai Negara Kesatuan yang Paripurna


Baru-baru ini kita mendengar ada perwakilan-perwakilan mahasiswa beberapa universitas di Bandung yang melakukan unjuk rasa di depan gerbang ganesha. Unjuk rasa ini diadakan untuk menanggapi meninggalnya Sondang Simanjuntak, mahasiswa Universitas Bung Karno yang melakukan aksi bakar diri. Tuntutan dari unjuk rasa ini kurang lebih adalah supaya mahasiswa ITB ikut turun ke jalan untuk berunjuk rasa melanjutkan perjuangan Sondang. 

Secara pribadi, menurut saya inisiatif mahasiswa di Indonesia untuk melakukan kontrol sosial terhadap pemerintah sudah sangat baik. Hanya saja caranya kurang tepat. Aksi-aksi yang ada saat ini adalah hasil dari kajian singkat akan suatu output sehingga ditarik kesimpulan bahwa input yang baru sangat diperlukan. Ada suatu hal yang dilewatkan disini, yaitu proses. Dalam ilmu engineering, ada urutan INPUT-PROSES-OUTPUT yang tidak bisa dilewatkan salah satu tahapannya. Kajian terhadap proses sering dilewatkan oleh mahasiswa, apalagi dengan adanya media yang memihak dan cenderung menutup-nutupi proses dari suatu kejanggalan.

Saya salut dengan pemimpin KM ITB, Tizar Bijaksana yang menyatakan sikap tegas untuk tidak mendukung aksi ini dan menekankan kepada budaya diskusi sebelum mengambil keputusan. Sikap tegas dan visioner seperti inilah yang belum tumbuh secara merata di Indonesia. Kualitas-kualitas pemimpin seperti ini sangat diperlukan dan harus diturunkan kepada mahasiswa yang lain.

Gambar diatas menunjukkan bagaimana seorang pemimpin yang baik dapat memberi perubahan secara efektif. Bisa kita simpulkan bahwa hampir semua mahasiswa masih berada pada fase dependence. Seseorang harus mencapai private victory dulu sebelum mencapai public victory. Ironisnya, beberapa mahasiswa ingin melewatkan tahap tersebut, misalnya dengan berdemo tanpa tuntutan yang jelas.

Yang ingin saya sorot disini adalah budaya membaca dan mengkaji masyarakat Indonesia yang masih kurang. Seperti yang diungkapkan olah Pak Moko Darjatmoko, keahlian story telling disini menjadi penting. Story telling yang saya maksud adalah dalam hal bagaimana kita menurunkan suatu visi atau pandangan yang baik. Tetapi yang terjadi di kalangan mahasiswa saat ini adalah penurunan nilai-nilai yang salah diartikan sehingga menjadi salah.

Oleh karena itu kita harus mengubah cara pandang kita terhadap suatu permasalahan. Menjadi solusi, bukan penuntut solusi. Untuk mencapai solusi itu kita butuh pemimpin yang hebat. Melatih kepemimpinan adalah sesuatu yang membutuhkan proses. Karena itu kita harus bahu-membahu meneruskan semangat perjuangan dengan tepat sehingga tidak terjadi lagi pengambilan langkah perjuangan yang salah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar